#Changed POV 

Membaca


Akan ada tiga orang di tempat ini, termasuk diriku, si Penyihir sudah menempati posisinya, sepertinya ksatria tampan itu terlambat.

Seperti yang diharapkan dari penunggu tempat ini, ia tidak pernah absen sekalipun. Tetapi kenyataan dia tahu cita rasaku membuatku sedikit terganggu. Perayu itu ternyata belum datang.

Hari ini aku membaca buku yang sama seperti kemarin, begitu pula kemarin lusa, begitu pula hari sebelum kemarin lusa, begitu pula kemarin lusanya kemarin lusa. Aku sudah lupa alasanku tertarik pada tumpukan kertas ini, terlalu panjang, terlalu berat, dan terlalu susah tuk dicerna. Aku tidak akan mengambil sastra panjang lagi. Buku dengan halaman melebihi enam ratus lembar bukanlah buku yang bisa diselesaikan dengan setengah niat. Jariku kembali membuka lembaran baru.

Ternyata ia masih membaca buku yang sama, seminggu? Kurasa kurang dari itu. Aku berhenti di tengah-tengah karena terlalu memakan waktu, masih banyak cerita yang lebih bernilai tuk dibaca. “Singkat” memanglah judul ironis yang cocok dipilih oleh seorang penulis yang senang memaparkan lingkungan sekitar tokohnya. Kata itu sama sekali tidak mencerminkan isinya. Memang benar aku tidak membaca hingga kalimat terakhirnya, tetapi buku itu menjadi salah satu referensi utamaku. Apa yang harus tidak kutulis dalam sebuah novel.

Dan yang si Penyihir baca sekarang adalah, “Arwah Lautan”, dia tidak pernah keluar dari zona nyamannya. Kisah klise yang dimulai dari pertemuan dua insan dan berakhir dengan salah satu dipanggil Sang Pencipta. Seingatku dia tidak pernah membaca yang berakhir bahagia, selalu berakhir kelam dan segelap hitam rambut panjangnya. Sebagai yang bertugas di tempat ini aku tidak pernah menilai genre kesukaan orang lain, justru aku menyarankan beberapa buku yang menurutku mereka akan suka. Tidak terkecuali si Penyihir. Aku menyarankan buku itu seminggu lalu, ia menjawabku dengan “aku akan pertimbangkan” sedingin seperti biasanya.

“Ah,”

Pria bermulut manis itu datang.

Apa dia tidak bisa masuk tanpa mengeluarkan suara sedikitpun?

Ternyata si gadis cantik itu sudah duduk di kursinya, aku kira dia sudah pergi di jam segini. Dan tentu saja penjaga tempat ini, aku harap ia punya rekomendasi bagus untuk minggu ini.

Ksatria tanpa pedang, ksatria tanpa zirah, hanya mengandalakn wajah tampan dan mulut semanis madu lebah. Aku tidak terlalu senang dengan pria semacam dia, walau ia memiliki hobi membaca dan kami sudah sering bertukar pandang di tempat ini. Sebagai kakak dari si Putri ia memiliki paras campuran orang luar, tetapi warna rambutnya hitam legam layaknya kebanyakan pria yang ada. Satu hal yang kudapat dari memperhatikan lelaki itu, ia selalu membawa sebuah buku saat mendatangi tempat ini.

Aku sudah menyiapkan beberapa buku bagus untuk memuaskan rasa hausnya akan seni yang terbentuk dari untaian kata, walau aku tau semua itu akan percuma. Apa yang ada di tangannya adalah seri pertama dari sebuah trilogi, untungnya tempat ini memiliki semua serinya. Dia tidak menghampiriku berarti ia belum selesai dengan apa yang ada di genggamannya. Aku juga ingin tahu reaksi si Penyihir melihat buku itu.

“Aku Tidak Bersalah”.

“Aku Tidak Bersalah”! Tunggu sebentar, kenapa pria itu membacanya? Seharusnya aku sudah tahu jawabannya. Selama ini aku menganggap pria berkacamata itu hanya memperhatikan kami tanpa niat turun tangan sedikitpun, tetapi memberikan rekomendasi buku itu kepada lelaki dengan wanita yang lebih banyak ketimbang jari-jari tangannya membuktikan ia menikmati ini. Aku tahu apa yang dia rencakan, tetapi aku sama sekali tidak bisa menyembunyikanr rasa senang sekaligus rasa gugup yang menjalar ke seluruh tubuhku saat ini.

Anna Goldin, ‘penyihir’ Eropa terakhir yang dibakar selama masa pemburuan penyihir, itulah nama pena yang digunakan si Penyihir di sini. Awalnya aku juga tidak menyangka karangannya sudah diterbitkan oleh penerbit besar dan terjual ratusan ribu eksemplar dalam waktu singkat, bahkan seperti yang kukatakan ia bisa membuat sebuah trilogi sebagai debutnya. Wajah itu, pipinya yang merona merah layaknya kepiting rebus, keringat yang terus-terus menetes jatuh dari dahinya, dan jari-jarinya yang sedikit gemetaran saat membalik halaman. Ternyata seseorang yang dingin seperti dia bisa membuat ekspresi seperti itu.

Sudah lama sejak aku menikmati buku yang atomosfernya sangat berat seperti ini. Penunggu itu mengatakan bahwa ini buku pertama si penulis, tetapi ini cukup bagus, aku rasa ia memiliki banyak pengalaman dalam menggambarkan emosi tokoh utamanya kepada pembaca. Aku lebih senang cerita ringan layaknya percintaan sekolah dengan bumbu-bumbu komedi masa remaja, tetapi sesuatu yang beda seperti mempertahankan hidup di dunia yang kelam seperti ini tidak buruk juga. Aku ingin mendengar pemikiran si penulis secara langsung.

Di hari ketiga setiap minggu, tiga orang yang tidak pernah menyebut nama satu sama lain berkumpul di perpustakaan tua sekolah. Kami hanya membaca di tempat ini, tidak lebih. Duduk di antara kursi kosong, hingga bel berbunyi. Aku, Penunggu, Perayu.

Aku, si Penyihir, Ksatria.

Aku, Pansy Hitam, Penunggu.

Apa yang kami lakukan hanyalah membaca.