#Psychological #Slice of Life 

Laplace Demon


Ada sesuatu di sebelahku. Tergeletak begitu saja, aku tidak tahu milik siapa. Seikat bunga berkelopak biru gelap, berkebun bukanlah hobiku dan aku tidak tahu apa namanya. Walau begitu, entah kenapa melihatnya memberiku perasaan tenang yang aneh, tidak, perasaan semacam nostalgia. Nostalgia? Tentang apa? Ini pertama kalinya aku melihat tanaman ini. Mengambilnya, aku sendiri tidak paham dengan apa yang kulakukan.

“Apa aku ada vas di rumah…” gumamku, berdiri dari kursi panjang ini.

Kelas berakhir setengah hari, tidak ada tugas atau semacamnya yang diberikan. Beruntung, tetapi memberikan waktu luang yang tidak kutahu harus kuapakan. Selalu melewati taman ini setiap aku pulang, tidak ada salahnya bersandar punggung sejenak di salah satu kursi yang nganggur. Untuk sekarnag aku akan membiarkan langkah kaki ini membawaku entah kemana. Ah, aku tidak pernah melihat sisi lain taman ini.

Ia lebih tua satu sampai tiga tahun dariku, seragam itu mengatakannya. Satu jatuh dan satu kembali muncul, keringat bertetesan dari dahi menuju dagunya. Kedua tangan itu gemetar hebat, kakinya tidak lebih baik dari itu. Duduk gelisah di bangku taman, seorang diri, matanya melirik ke kanan kiri dengan cepat. Aku kembali melangkah, lelaki itu menyadari keberadaanku dan entah senyum canggung atau pasrah muncul di wajahnya. Dengan kakinya yang lebih ke kurus ketimbang ramping itu ia mengangkat badan dan berjalan perlahan ke arahku.

“Maaf mengganggu,” ucapnya sembari mempersempit jarang di antara kami, “apa aku bisa membeli bunga itu?”

Refleks aku mengeratkan genggaman tangan kananku, aku bertanya alasannya.

Bibirnya kembali menyunggingkan senyum canggung itu, “Sebenarnya aku sedang menunggu seseorang, rencananya aku mau kasih sesuatu cuma ketinggalan.”

Ceroboh dan kikuk, hanya itu yang kudapat darinya. Bunga ini bukanlah milikku, aku tidak berhak menjualnya kepada orang lain. Yah, kalau memberikannya kukira tidak apa.

“Terima kasih! Jadi bera—gratis? Tidak apa-apa, kah? Begitukah, jadi kamu menemukannya. Aku benar-benar berterima kasih!”

Aku memindah tangankan seikat tanaman yang memberiku perasaan aneh itu.

“Ia akan senang dengan ini…,” gumam lelaki itu, aku berpura-pura tidak mendengarnya.

Aku kembali meninggalkan dirinya bersama penantiannya, hingga berpapasan dengan seorang perempuan berseragam sama. Aku harap pemilik sebenarnya tidak marah dengan apa yang barusan kulakukan, Salahnya sendiri meninggalkan sesuatu, aku hanya memungutnya dan memberikannya kepada orang lain yang membutuhkan. Kencan pertama selalu membuat degup jantung tidak karuan, aku belum pernah merasakannya tetapi sangat menantikannya.

Ada sesuatu di bawah kakiku. Bergelinding dari arah yang kutuju, baja berbentuk lingkaran dengan pertama kecil. Kalau ini sudah keterlaluan, aku harus direpotkan untuk membawanya ke kantor polisi terdekat. Hingga aku melihat seseorang menggaruk-garuk kepalanya sembari berputar di tempat, sepertinya aku tidak perlu melaporkan barang hilang. Kakiku kembali melangkah.

Setelan jas kantoran lengkap, aku tidak tahu apa orang itu berpura-pura memiliki pekerjaan atau ia bernasib sama sepertiku. Ia merendahkan badan tingginya dan mulai menyisir rumput yang seharusnya tidak boleh disentuh. Kurasa tidak boleh diinjak. Wajahnya terlihat bermasalah, rasa takut dan khawatir yang berlebihan tercermin jelas. Aku berada cukup dekat dengannya, tapi pria itu masih sibuk dengan pencariannya. Aku terpaksa membuatnya menyadari keberadaanku.

“Ada apa? Aku sibuk mencar—”

Matanya membelalak, suara rendah keluar dari mulutnya yang lama-kelamaan meninggi, ia melompat kecil dan memelukku begitu saja. Jujur aku tidak menyangka ini, dan aku sedikit takut. Aku sedang berada di dalam tangan om-om asing. Sudah sewajarnya aku takut. Dengan lembut pria itu mendorong bahuku, melepaskan pelukannya, setetes air tampak di ekor matanya. Tangan besarnya menggenggam tanganku yang sedang memegang cincin itu, hangat dan sedikit kasar, apa ini rasanya memiliki seorang ayah?

“Terima kasih gadis kecil, kamu penyelamat,” ia mengambil cincin itu dan mengelus lembut rambutku.

“Apa kamu ingin sesuatu? Aku akan membelikannya sebagai rasa terima kasih.”

Aku menggeleng, tangannya yang masih ada di atas kepalaku kembali membuat gerakan mengelus. Perasaan menenangkan ini, aku tidak ingin ini berakhir, tetapi pria itu berdiri. Ia berbalik, aku tertutupi oleh bayangan badannya. Tangannya melambai, seorang wanita berlari kecil menuju tempat kami berada. Gaun putih yang indah, itulah yang ada dibenakku pada pandangan pertama. Sebelum wanita itu tiba, aku mencari celah dan pergi meninggalkan lelaki itu.

Ada seorang anak kecil di hadapanku. Seorang gadis berumur kurang dari lima tahun, menangis, dia benar-benar mengeluarkan suara yang keras. Aku tidak melihat ada orang dewasa disekitar sini, kali ini sepertinya aku benar-benar akan ke kantor polisi. Sebelum itu, aku harus bisa menghentikan suara mengganggu yang muncul dari mulut kecil miliknya itu. Merogoh tas, aku menemukan beberapa bungkusan kecil dan menggenggamnya.

Mata lembab itu melihat ke arahku dengan sedikit rasa takut. Aku segera menunjukkan beberapa permen yang kubeli di sekolah kepadanya. Membuka satu dan memakannya sendiri, aku berhasil menarik perhatiannya. Kembali aku membuka satu dan kutaruh di atas tangan kecilnya, air matanya berhenti menetes, aku dapat tahu ia menikmati rasa manis yang ditimbulkan makanan berbahan utama gula itu. Aku berhasil mendapatkan kepercayaannya dan mulut kecilnya memberitahuku bahwa ia ke taman ini bersama ayahnya. Kugandeng tangan kecil nan lembut miliknya, kepalaku sibuk menyusun kalimat tuk kukatakan di depan pria berseragam yang bersiaga nantinya.

Celana kain berwarna hitam, kemeja kotak-kotak biru muda, helai-helai rambut putih terlihat di antara rambut cokelatnya saat ia berlari menuju arahku. Pria itu berhenti beberapa meter dariku, jarak di antara kami ditutupi oleh lari kecil si gadis. Dengan mudahnya ia melemparkan tubuhnya ke dalam dekapan lelaki itu, kembali suara berisik keluar darinya. Napasnya masih tersengal-sengal, wajah dengan sedikit keriput itu merah layaknya kepiting rebus. Ia memberiku tatapan lembut, tatapan seorang ayah.

“Terima kasih… telah menemukan anakku,” ia tersenyum kecil, “aku benar-benar orang tua yang payah.”

Aku hanya diam, kenyataannya ia sampai kehilangan anaknya merupakan bukti kepayahannya. Tangisan gadis itu menangis, kembali mata lembab itu menatap mataku. Ia menundukkan kepala, mencoba tuk mengucapkan terima kasih sembari terbata-bata. Aku mencoba tuk tersenyum.

Untuk ketiga kalinya aku melihat seorang wanita berlari, kali ini adalah istri pria di hadapanku. Meninggalkan mereka yang saling memeluk, aku kembali melanjutkan perjalananku. Itukah keluarga.

Ada seorang pria tua di sampingku. Kami duduk di salah satu kursi taman. Ia menempatinya terlebih dahulu, aku meminta izin dan mengistirahatkan sepasang kaki ini. Siapa yang tahu taman ini begitu luas, aku masih belum mencapai sisi lainnya. Langit masihlah biru, warna jingga penanda aku harus pulang masih belum terlihat. Aku melirik pria tua di sebelahku.

Tongkat di sisinya adalah kaki tambahan baginya, matanya menyipit hingga ku tak yakin apa ia masih bisa melihat dengan jelas, tangannya bergetar tanpa alasan yang jelas, ia memandang menembus perpohonan penghias taman. Ia diam. Layaknya sebuah patung ia bergeming. Hingga ia menangkap basah aku yang menatapnya. Senyum lemah ia sunggingkan di wajah penuh keriput itu.

“Bagaimana perjalananmu?” suatu pertanyaan aneh ia ajukan, aku pun menjawabnya dengan kata klise, “menyenangkan.”

“Begitukah…,” ia berpaling dan kembali memandang jauh entah kemana.

Untuk beberapa waktu keheningan mengisi jarah di antara kami, dan kakinya yang sudah lemah mengangkat badan rentanya. Ia menoleh ke arahku tuk terakhir kalinya dan kembali melemparkan senyumnya, aku mencoba sopan dan membalasnya. Aku memandangi punggung pria tua itu hingga ia tak lagi ada di pandangan. Aku melihat ke tempat ia duduk tadi. Seikat bunga berkelopak biru gelap tergeletak begitu saja.

Bunga itu memberikan perasaan nostalgia yang aneh padaku.