#Slice of Life 

Vita


“Jadi, apa yang ingin kamu lakukan?” tanya dingin dirinya yang tua seakan-akan apa yang baru ia dengar keluar dari sisi kiri kepalanya begitu saja.

Aku menghela, “Aku ingin bepergian…”

Tongkatnya menapak duluan ketimbang sepasang kaki kurus nan lemah miliknya, “Begitu kah, buat dirimu tidak menyesalinya.”

“Apa kamu tidak akan merindukanku?” tanyaku sembari mengejar orang tua itu.

“Dasar cucu kurang ajar, umurku jauh lebih panjang darimu. Puaskan sudah segala keinginanmu itu.”

Aku tertawa pelan, walau begitu aku tetap sadar bahwa apa yang ia ucapkan benar. Kemungkinan, sepertinya, pastinya—jika mengambil ucapan dokter pengembara itu—aku akan lebih dulu berbaring di bawah tanah ketimbang pria tua ini.

Aku akan mati, tidak segera, tidak pula terlalu lama. Ketika aku bertemu dengan semi ini lagi, aku akan mati.

Ketika wajah dingin pria berjenggot itu mengabarkan jadwal kematianku, “Begitukah”-lah yang keluar dari kedua mulut sepasang cucu dan kakek ini. Sebelum kami bertanya tentang apakah ada cara tuk menghindarinya, tangannya mengangkat dan menjawab singkat, “tidak”. Apa yang ia katakan selanjutnya adalah, “Aku turut berduka, namun kematianmu tidak akan menyakitkan, bagimu.”

Jikalau kumelihat lagi kelopak merah muda jatuh di atas kepalaku, kemungkinan mata ini sudah tak lagi dapat melihat indahnya. Napas ini tak lagi berhembus, panas hilang dari tubuhku, aku akan mati saat itu saja tanpa tahu detik nyawa ini tercabut dari raganya. Satu tahun dari hari ini, entah seminggu lebih telat atau seminggu lebih cepat, aku akan mati.

“Apa ada tempat yang bagus?”

Seketika ia berhenti melangkah, mengusap pelan jenggot putih nan panjang miliknya, “Bell…”

Ia menyebut nama kekasihnya, nenekku.

“Tempat dimana aku bertemu dengan Bell, aku rasa itu tempat yang bagus tuk orang sepertimu.”

“Apa maksudnya itu…,” ketika kupikir-pikir, aku tidak tahu bagaimana kakek dan nenek bertemu.

“Hutan Papilio,” ucapnya sembari kembali berjalan, “akan kuberikan petanya esok pagi, kemas semua barangmu sebelum itu.”

Dengan begitu, ketika bulan tidur, aku diusir begitu saja oleh pria tua itu.

Dia memang pria yang tidak akan pernah menelan ludahnya sendiri, tapi aku tidak menyangka ia akan benar-benar menendang cucunya keluar setelah mendengar kabar kematiannya. Apa hati orang itu sudah mengerut hingga tidak ada. Aku berbalik, gubuk yang telah kutinggali selama yang telah kuingat sudah tidak tampak lagi, apa yang mengelilingi diriku sekarang adalah hamparan luas rerumputan. Aku berpetualang, menghabiskan setahun yang kupunya berpergian ke suatu tempat yang tidak pernah kutahu ada. Aku berpetualang, berharap agar apa yang berada di ujung sana bisa kujadikan tempat terakhir kuberbaring.

Aku berpetualang.

Dua minggu berlalu, saat ini aku sadar betapa jauh hutan yang disebutkan si tua sialan itu. Coniugis, kota yang menjadi pembehertianku setelah setengah bulan melewati berbagai macam desa, pertama kalinya aku ke kota sebesar ini. Kubertanya kepada pemilik penginapan mengenai Hutan Papilio, apa yang ia berikan kepadaku adalah tatapan terhadap orang yang tidak memiliki akal. Ketika aku menyebutkan alasanku, dengan cukup susah ia memahami dan mengatakan bahwa aku membutuhkan tiga bulan untuk ke sana. Aku menelan ludah, seperempat hidupku akan habis dalam perjalanan tanpa tujuan yang jelas ini.

“Apa yang kakek ingin aku lakukan… mati di antah berantah? Apa sebegitunya dia membenciku…”

Mengingat apa yang ia katakan—bahwa di sanalah ia bertemu dengan kekasihnya—aku berhenti berpikiran seperti itu. Apapun itu yang menungguku di sana, walau hanya batu pinggir di jalan, aku akan menerimanya. Keesokan harinya, tanpa kusangka aku terlibat dalam sesuatu yang aneh namun membuatku bersemangat.

Orang hilang. Yup, aku menemukan orang hilang.

Aku tidak akan mengatakan apa-apa jika ia adalah seorang anak kecil, apa yang berdiri dengan tubuh bergetar karena rasa khawatir adalah seseorang yang lebih tua dariku. Seorang om-om. Badan bagai pohon kering, kurus nan tinggi. Rambut cokelat dipotong pendek dan rapi, aku rasa ia bekerja di sebuah serikat pedagang yang cukup besar. Tampak pintar dalam pekerjaan, namun kikuk dalam hal lainnya. Pria itulah yang meminta bantuanku.

“Terpisah dari istrimu?”

“Begitulah, aku tadinya pergi tuk mencari sesuatu, ketika aku kembali dia sudah tidak ada. Istriku lahir di sini, tapi hari ini adalah pertama kalinya bagiku. Seharusnya kami akan memesan penginapan setelah ini, tapi dia yang tahu tempatnya.”

“Penginapan? Apa dia menyebutkan namanya?”

“Tidak, dia menyebutkan kalau pemiliknya adalah pria semacam beruang.”

“Ah…,” saat itu juga aku berpikir sepertinya masalah pria ini sengaja ditujukan kepadaku.

Segera kami beranjak.

“Apa itu istrimu?” seketika aku masuk ke dalam penginapan, aku menunjuk wanita yang mengobrol santai dengan pria besar di bar.

“Sayang!” tanpa mengucap terima kasih ia menabrakku dan melompat memeluk wanita berambut pirang panjang itu.

Wanita itu berbalik, tampak jelas tonjolan di perut dari balik gaun hijau yang ia kenakan, kemudian aku mencoba memaklumi tingkah suaminya. Mempersingkat cerita, istrinya meminta maaf mewakili sang suami dan mereka menginap di tempat yang sama denganku tuk seminggu penuh. Hari ketiga mereka menginap merupakan hari terakhir sebelum aku kembali bepergian. Mereka mengantarkan kepergianku dan memberikan beberapa bekal, sepasang suami istri yang baik.

“Aku harap Vita dapat bertemu denganmu nantinya,” ucap sang istri.

Nama yang ia sebut adalah nama anaknya kelak nanti, aku hanya tersenyum mendengarnya. Sesuatu semacam itu hampir menyentuh batas ketidakmungkinan, walau begitu aku dapat melihat dari sepasang mata miliknya bahwa ada keyakinan dari kata-kata itu.

Dua bulan berlalu sejak aku memulai perjalanan sialan ini. Banyak hal yang kupelajari, mulai dari menghindari serigala dan bertahan hidup di alam liar, lucunya hal itu tidak akan berguna ketika aku mati, bukan? Dan tebak, aku akan mati delapan bulan lagi, aku sangat yakin apa yang kupelajari sangatlah tidak berguna. Mau bagaimanapun, aku akan mati. Kembali ke kenyataan, sekarang aku berada di Spes, desa paling dekat dengan Hutan Papilio.

Mereka jarang menerima tamu, karenanya tidak ada semacam penginapan. Untungnya tetua desa di sini senang hati menerimaku sebagai tamu di rumahnya tuk beberapa hari. Sebagai pria yang tahu cara berterima kasih, aku menawarkan apa yang pasti kumiliki saat ini, tenaga. Membantu seorang pria tua adalah keseharianku, walau perbedaannya adalah tetua desa ini baik dan yang satunya dalah orang tua sialan. Memotong kayu bakar dan mengambil air dari sumur adalah hal yang mudah. Terlepas dari itu, tidak banyak yang bisa kulakukan di desa kecil ini. Hingga kejadian yang tidak asing kembali terjadi.

Gadis kecil yang menggandeng tanganku dengan erat dan merengek ini kutemukan berkeliaran di bagian dalam hutan ketika kumencari kayu bakar. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini cukup masuk akal bagiku. Yah, walau tetap saja terasa aneh bertemu orang tersesat dalam rentang waktu secepat ini.

“Hey, berhenti menangis, kakak akan mengantarmu pulang,” ucapku mencoba menenangkannya, “dimana rumahmu?”

“De-dekat ma-masuk hutan,” jawabnya sembari terisak-isak.

Jawabannya membuatku kebingungan. Setahuku hanya ada satu jalan untuk ke hutan ini, dan aku sama sekali tidak melihat ada rumah di dekatnya. Aku mulai berpikir positif, kalau mungkin saja aku memang tidak terlalu memperhatikan sekitar selama beberapa hari aku keluar masuk hutan setiap pagi. Anak kecil tidak memungkin berbohong, bukan? Yah, seharusnya.

Kami berjalan bergandengan hingga melihat kumpulan cahaya dari satu titik di antara hijaunya dedaunan yang mulai menyebalkan. Ketika kami keluar dari hutan, tak jauh dari posisi kami berdiri sebuah rumah kecil yang tampak jelas ada. Aku tidak mungkin tidak menyadari sesuatu sejelas ini, namun pikiranku buyar ketika genggaman di tanganku melonggar dan gadis itu mulai berlari ke arah rumah gaib itu. Ia berbalik, mata lembabnya tampak membengkak dan tetesan air mata bertebangan, tangan kecilnya melambai.

“Terima kasih sudah membantu Vita, semoga kita bertemu lagi, kakak yang baik.”

Tanpa kusadari aku sudah berada di rumah tetua, keesokan harinya aku benar-benar lupa dengan rumah itu dan hanya mengingat si gadis. Sebelum berangkat, aku bertanya kepada tetua mengenai gadis yang namanya sudah berkali-kali kudengar.

“Kamu akan segera bertemu dengannya lagi,” ucap pria tua itu sembari segera menyuruhku pergi.

Pemberhentian terakhirku adalah Hutan Papilio, ketika aku berpikir sudah tidak akan bertemu kejadian aneh, sesuatu mengatakan kepadaku bahwa ada seseorang bermain denganku sekarang. Aku telah mencapai Hutan Papilio, namun ketika aku memasukinya tak lama kemudian aku kembali ke tempat aku masuk. Dua, tiga, empat, lima kali aku mencoba tetapi tetap kembali ke tempat awal. Hutan ini menolakku. Untuk keenam kalinya aku masuk, aku tidak dibawa kembali keluar, namun aku tersesat.

Aku tersesat.

Berjalan memutar, kembali aku menemui pohon yang sudah kuberi tanda. Entah berapa lama aku sudah berjalan, tidak ada secercah cahaya menembus dedaunan lebat pohon hutan ini. Diambang keputusasaan, aku memutuskan tuk duduk dan menenangkan diri. Sesaat pikiranku jadi kosong, hingga terdengar suara ranting patah dari hadapanku, ada orang lain di hutan ini. Menyiagakan tanganku di pinggang, sosok itu keluar. Wanita berambut pirang dengan pakaian yang tak seharusnya dikenakan di hutan, gaun putih panjang.

“Apa kamu tersesat?” tanya wanita itu tanpa basa-basi seakan-akan ia sudah tahu.

“Begitulah, apa kamu bisa membantuku?”

Wanita itu mengangguk pelan.

Aku berdiri dari dudukku. Sesuatu terbesit dari kepalaku dan aku tersenyum karenanya.

“Kalau boleh tahu siapa namamu?”

“Vita,” ucapnya singkat sembari berbalik.

Akhirnya aku tahu apa yang harus kulakukan di sepertiga sisa hidupku. Aku hanya bisa mengatakan, sungguh kisah yang aneh.